JAKARTA – Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei setiap tahunnya,
selalu sekadar seremonial dan belum bersifat aktual. Dari tahun ke
tahun, bangsa Indonesia terus berkeinginan untuk bangkit, tapi tidak
jelas dari mana mengawali kebangkitan itu. Kebangkitan Nasional yang
kemudian disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945
yang diharapkan sebagai gelombang perubahan dahsyat dalam upaya
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, hingga kini belum juga terwujud.
Harapan serupa juga belum dapat terwujud, ketika bangsa ini masuk dalam
era reformasi yang bergulir pada Mei 1998. Padahal, proses
demokratisasi makin berkembang dan dalam kurun waktu 14 tahun dengan
empat presiden: B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri,
dan Soesilo Bambang Yudhoyono. “Semua ini akibat ‘Kapal Indonesia’
menghadapi tantangan besar baik eksternal maupun internal yang tidak
mampu diselesaikan dengan baik oleh para pemimpinnya,” kata Ketua Umum
Partai REPUBLIK Marwah Daud Ibrahim dalam pidato politiknya memperingati
‘104 Tahun Kebangkitan Nasional’ di Sekretariat DPP Partai Republik,
Jakarta, Senin (21/5).
Seharusnya, menurut Marwah, dengan demokratisasi yang terus berkembang
di negei ini, dapat membawa ‘Kapal Indonesia’ berlayar semakin mendekat
ke pulau tujuan. Tantangan eksternal, antara lain berupa cuaca buruk
yang tak menentu, bajak laut yang datang dan mulai menjarah kekayaan
bangsa, kapal induk asing sudah mendekat dan siap menguasai sumber daya
kita. Kondisi ini diperparah oleh masalah internal kapal yang kian
memburuk. Mesin kapal terasa mulai macet tersendat, kebocoran muncul di
sana-sini, bahan bakar makin menipis.
“Sayang sekali dalam kondisi SOS, para pemimpin di seluruh tingkatan
terkesan kurang memiliki sense of urgency. Anak kapal malah saling
berseteru. Para penumpang Kapal mulai panik, sebagian bukannya berusaha
menutup lubang yang bocor, tapi justru sibuk saling menyalahkan. Bahkan,
sebagian tanpa sadar menambah lubang baru. Sebagian lagi mulai
mengambil sekoci atau pasang pelampung untuk siap terjun ke laut
lepas. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, maka Kapal Indonesia
terancam karam dan pecah berkeping-keping seperti nasib Uni Soviet,”
jelas Marwah Daud Ibrahim.
Dijelaskan, peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini, diharapkan mampu
untuk membuka mata, hati dan pikiran sehat dalam menjawab segala
keterpurukan bangsa. Kebangkitan adalah upaya perubahan menjadi lebih
baik dari sebelumnya. Kebangkitan menjadi pemicu tumbuhnya sesuatu yang
baru dan lebih baik. Kebangkitan harus melahirkan generasi yang memiliki
pola pikir dan semangat baru dalam menciptakan karya yang berguna bagi
masyarakat luas.
Marwah menekankan bahwa keterpurukan harus menjadi pelajaran yang
berharga dan pijakan bangsa ini untuk bangkit guna melampaui tantangan
dan hambatan yang terbentang luas. Untuk itu, sudah waktunya Indonesia
menjadi Peradaban Baru yang harus didisi generasi yang kreatif dan
inovatif dalam mencari celah hambatan dan tantangan yang selanjutnya
diubah menjadi sebuah peluang untuk bangkit dan memenangkan persaingan
di era global.
“Indonesia harus memiliki generasi yang kualitas, mandiri dan berkarya
serta memiliki kemampuan menjawab harapan ‘Kebangkitan Nasional’ dan
tantangan masa depan untuk menciptakan ‘Peradaban Baru’ bagi Indonesia
dalam upaya mewujudkan Visi Nusantara Jaya 2045, yakni seratus tahun
Indonesia Merdeka, Nusantara memimpin peradaban, bukan hanya di Asia
tapi juga dunia,” kata Ketum partai REPUBLIK tersebut.
Momentum Kebangkitan Nasional ini, lanjut dia, diharapkan bukanlah
sekadar slogan atau semboyan belaka, melainkan kebangkitan yang penuh
daya kreatif, energik yang mampu memberi arti pada kehidupan. Selain
itu, juga diharapkan mampu memupus segala kegelisahan kini serta mampu
menggelarkan fitrah kesucian dalam genangan Ridho Ilahi. “Kebangsaan
dalam arti Persatuan Indonesia seharusnya didasarkan pada nilai, bukan
pada tokoh. Nilai tersebut tidak sekedar kognitif berupa ilmu dan
pengetahuan saja, melainkan harus ada proses mengalami atau bertindak,”
imbuh dia.
Keteladanan
Pada bagian lain, Marwan Daud menyatakan, kondis rakyat Indonesia masih
memprihatinkan, karena lebih dari 40 persen hidup dalam garis
kemiskinan. Untuk itu, pembangunan perlu diarahkan secara multi dimensi,
tidak hanya membangun secara fisik-material saja. Namun, yang lebih
penting adalah kepemimpinan negara perlu memberikan keteladanan,
termasuk mendidik masyarakat dengan nilai-nilai utama hidup bersama
dalam keberagaman atau kemajemukan bangsa.
“Kemajemukan bangsa jangan dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai
berkah. Gesekan atau pertentangan yang berujung kekerasan bukan
kemajemukan sebagai pemicunya, tetapi lebih kepada kepentingan pihak
tertentu, baik itu rebutan aspek ekonomi atau materi maupun politik atau
kekuasaan yang ujung-ujungnya bermuara pada budaya materialistis dan
individualistis. Untuk itu, kita perlu memperkembangkan nilai-nilai
kebudayaan kita, agar reformasi ini dapat menghantarkan bangsa Indonesia
ke masa depan yang lebih cerah,” tandasnya.
Marwah juga menekankan para pemimpin harus banyak belajar sejarah
kebangkitan dan belajar menciptakan sejarah kebaikan bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; serta belajar berbenah dari
“lorong gelap” reformasi menuju Indonesia penuh harap dan cita-cita
suci. “Sebuah negara yang hebat itu, bukan dibangun oleh penduduknya
yang biasa-biasa saja, melainkan pemimpinnya harus mau melakukan hal-hal
yang luar biasa bagi bangsanya,” imbuh dia.(***)